Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan
Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup
pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan
erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua.
Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana
Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan
Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus
murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan
Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik
Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa
dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta
Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri
adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan
Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan
Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya
masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati
kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya
dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan
Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat
besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
"sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut
mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik
Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu
Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari
Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan
menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan
Budha.
1. Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim)
Agama Islam menyebar di bumi
nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang kemudian dianugrahi gelar
Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah sosok ulama
pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik
Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap
yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa
Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak terdapat bukti sejarah yang
meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya
disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang
diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari
Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma
menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti
pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa
Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The
History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles
menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang
Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu
Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans
lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.
Namun demikian, kemungkinan pendapat
yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima
tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang
mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai
silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan
Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin,
Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa
ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah,
Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih,
Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal,
Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Penyebaran Agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap
termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa,
dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.
Beberapa versi babad menyatakan
bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali
ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9
kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di
tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan,
Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah
mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa
diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara
tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan
keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya,
banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali
awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah
berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan
desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat
berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat
pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli,
pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat,
Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di
Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik,
bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah
yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga
mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat
Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing
termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka
mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran
Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat
mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih
diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam
berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai
berkunjung untuk berziarah.
Ritual ziarah tahunan atau haul juga
diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi
makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan
(pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Legenda Rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan
bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim
dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau
Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di
Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil
Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka
berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke
Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan
bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin)
selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra;
yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri.
Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa
dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita
rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil
dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah
dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati
masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah
diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan
permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah selesai membangun dan menata
pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat.
Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Saat ini,
jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
2.Sunan Ampel
Sunan Ampel merupakan salah seorang
anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam perkembangan Islam di Pulau
Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah
Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat.
Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel
Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya.
Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di
Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan Champa disini, sebab belum ada
pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan Champa di Malaka atau
kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan
lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam wilayah
kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu
bukan yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie,
tetapi di Aceh.
Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat
bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang kemudian dikenal
dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi Chandrawulan, saudara kandung
Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja Majapahit Prabu
Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi Karimah dan Dewi
Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak
yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan
Islam Demak Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku
atau Sunan Giri. Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel
memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah,
Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden
Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau kadang-kadang
disebut Sunan Sedayu.
Sunan Ampel dikenal sebagai orang
yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan mendapat pendidikan yang
mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal mempunyai akhlak yang
mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap
masalah-masalah sosial.
3.Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang
Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah
Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki
beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih,
Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Silsilah
Beberapa babad menceritakan pendapat
yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia
adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah.
Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak
Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan
bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur
keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far
ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali'
Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan),
Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin
Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan
dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi
Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir
Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah
penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu
menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan
oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia
diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih.
Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko
Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak
berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya
dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum
Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima
oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko
Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan
mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada
ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke
Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa
Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia
dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi
terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan
pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai
akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni
tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri,
diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan
Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti
Asmaradana dan Pucung.
4.Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti
juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim.
Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila,
puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari
pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk
berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri,
yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid
Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa
kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa
itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal
dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama
Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun
demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke
daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah
terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada
1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid
Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas
dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf
dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra
dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang
piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada
filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi.
Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan
kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya
secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini,
Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya
sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk
Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr
(wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung
laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar,
Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan
Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah
yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan
instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong
kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo
Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan
Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah
menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan
Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi
(peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
5.Sunan Drajat
Semasa muda ia dikenal sebagai Raden
Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai
naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden
Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat,
dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi
Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah
Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang
diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan
halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim
menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta,
Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk
berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah
cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim
dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya
terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat
Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu,
Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai
Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar
1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah
Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah
diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa
tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah
surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil
dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya
berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan,
sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas
dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai
dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum
strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan
Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah
perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk
sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak
makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk
pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan
Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama
para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat
mimpi, Stnan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi
kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh
di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah
menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di
Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum
tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu
yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan
kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan
dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling
menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana
catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui
konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam
menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian
secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan
pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian
tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan
gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat
tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat
adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang
kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan.
Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang
kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada
yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan
masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari.
Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon,
merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga
berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan
salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa
salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit,
dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para
wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di
kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam
suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta
pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia
berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang
kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut
menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di
Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden
Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi
pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi
Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden
Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa,
bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad
Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di
Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau
Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini
menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak
di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar
yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat
dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran
Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi
Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah
dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini
agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat
datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga
babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….”
Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik
sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah?
Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa
Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam
beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali
Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
6.Sunan Kalijaga
Dialah "wali" yang namanya
paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi.
Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak
Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah
Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh
Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut
asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa
nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah
tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai
(kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal
dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu
suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa
akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
"tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya
cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan
semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal.
Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga.
Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu
-selatan Demak.
7.Sunan Kudus
1. Asal -Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah Raden Usman
haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak
Jipang Panolan ini di sebelah utara kota Blora. Didalam Babad Tanah Jawa,
disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang
melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan
dengan Raden Timbal atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang
sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai
pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh
Sunan Kudus yaitu putranya sendiri bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita
kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka dari Raden
Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya
berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi
Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati
Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah
yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung
dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit
hingga ke belah timur.
Pada akhirnya perang itu dimenangkan
oleh pasukan Demak.
2. KEBIJAKAN SUNAN KUDUS DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM
Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden
Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada
Kiai Telingsing. Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau
adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama
Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah Jenderal
Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa mengadakan tali
persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di Jawa, The Ling Sing cukup
dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang
terletak diantara sungai Tangulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana
beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada
para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir
kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jakfar Sodiq itu sendiri. Dengan belajar
kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Jakfar Sodiq mewarisi bagian dari
sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar
atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden
Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu takkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Jakfar Sodiq juga
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun. Didalam legenda
dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah
Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau
menunaikan ibadah haji. Dan kenetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar di
atasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil
melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar
jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi tak
pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap
penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis.
“Dengan apa Tuan akan melenyapkan
wabah penyakit itu ?” tanya sang Amir.
“Dengan do’a,” jawab Jakfar Sodiq
singkat.
“Kalau hanya do’a kami sudah puluhan
kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama dan Syekh-Syekh ternama.
Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.”
“Saya mengerti, memang Tanah Arab
ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga do’a
mereka tidak terkabulkan,” kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani Tuan berkata
demilian,” kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka ?”
“Anda sendiri yang menyebabkannya,”
kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang
menggelapkan mata hati mereka sehingga do’a mereka tidak ikhlas. Mereka berdo’a
hanya karena mengharap hadiah.”
Sang Amirpun terbungkam atas jawaban
itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan
melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disiasiakan. Secara khusu Jakfar Sodiq
berdo’a dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit
mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita
sakit keras mendadak saja sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa
kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya
kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu
yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itupun dibawa
ke Tanah Jawa, di pasang di pengimaman masjid yang didirikannya sekembali dari
Tanah Suci.
Jakfar Sodiq adalah pengikut jejak
Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus atau Tutwuri Handayani.
Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal, melainkan diarahkan
sedikit demi sedikit menuju ajaran Islami.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk
menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar
Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan
Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
3. CARA BERDAKWAH YANG LUWES
Di Kudus pada waktu penduduknya masih banyak yang beragama
Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan
mudah. Juga mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh
adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah
Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kusus atau
Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang).
Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal
besar.
Sapi itu ditambatkan di halaman
rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak
hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi
dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa.
Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang
akan dilakukan Sunan Kudus ?
Apakah Sunan Kudus hendak
menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan
menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati
rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri
rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah
penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati,
segenap sanak kadang yang saya cintai,” Sunan Kudus membuka suara. “Saya
melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu
saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui
saya.”
Mendengar cerita tersebut para
pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Sodiq itu
adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya.
“Salah satu diantara surat-surat
Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa
Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi
di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka
harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu
berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat
berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga
tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu. Lihatlah Menara Kudus
yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena
keanehannya. Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya
karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang
dikeramatkan ummat Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menyaring ummat Budha.
Caranya ? memang tidak mudah, harus
kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus
membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan.
Masing-masing pancuran diberi arca diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran
Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga” yaitu
1. Harus memiliki pengetahuan yang
benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan Menghayati agama dengan
benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil,
banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang
wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu.
Didalam cerita tutur disebutkan
bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih
berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui bersama Rakyat
Jawa banyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang kadangkala bertentangan
dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan, selamatan mitoni,
neloni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual
itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk
Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
4.
SUNAN KUDUS SEBAGAI SEORANG SENOPATI
Sunan Kudus di dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai
Senopati atau Panglima Perang Kerajaan Demak Bintoro. Juga Senopati Waliullah
artinya beliau itu menjadi Senopatinya para Wali. Sebagai Senopati Kerajaan
Demak beliau pernah memimpin peperangan melawan Majapahit yang pada waktu itu
dipimpin oleh Adipati Terung. Sedangkan sebagai Senopati para Wali beliau
pernah ditugaskan untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang
meremehkan syariat sehingga dianggap sesat.
Pada bagian ini akan diceritakan
secara singkat tugas Sunan Kudus di saat harus berhadapan dengan seorang murid
Syekh Siti Jenar yang masih punya darah keturunan dari Raja Majapahit. Penduduk
desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebabnya
malam itu terdengar auman harimau secara terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga,
kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke dalam desa.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor
harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai
masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan itu ada
harimaunya.
Di tengah hutan, bukan harimau yang
mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang
tampak agung berwibawa. Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus dan tujuh
prajurit Demakyang menyamar sebagai santri biasa.
“Apakah tuan melihat harimau di
sekitar hutan ini ?” Tanya tetua desa.
“Tidak,” jawab Sunan Kudus, “Semalam
kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau.”
“Aneh, semalam kami tak dapat tidur
karena auman suara harimau yang terus menerus,” Guman tetua desa.
“Kalau begitu namakanlah tempat ini
desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima.”
Kata Sunan Kudus.
Tetua desa itu menurut, hingga
sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan desa Sima. Sunan Kudus
kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo
Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Tiga tahun yang lalu, diawal tampak
pemerintahan Raden Patah. Patih Wanasalam telah diutus untuk menemui Ki Ageng
Pengging. Tujuannya adalah untuk meminta ketegasan Ki Ageng Pengging, apakah Ki
Ageng Pengging bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro dan
penerus dinasti Majapahit atau sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin menjadi Raja
Demak ?
Pertanyaan itu tidak pernah dijawab
dengan tegas oleh Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam orang kepercayaan Raden
Patah, memberi batas waktu tiga tahun untuk berfikir dan menentukan pilihan.
Kini tiga tahun telah berlalu, Ki
Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang
dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat
tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam
dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.
Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau
Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya
para prajurit masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan di balik baju
petani. Tapi sewaktu-waktu mereka bisa di gerakkan di saat diperlukan oleh Ki
Ageng Pengging.
Hal ini di sadari oleh pemerintah
pusat Demak Bintoro. Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus untuk
mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini.
Suasana Kadipaten Pengging
benar-benar lenggang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang
masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan, di pusat bekas
pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak
seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh
orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki
Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa
hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan
dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende
itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak
mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan. Di depan pintu
rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus
memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng
Pengging.
“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki
Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.” Kata
pelayan itu.
“Aku bukan tamu biasa,” Kata Sunan
Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu
dengan Ki Ageng Pengging.”
Pelayan itu masuk ke dalam rumah
menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng
bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya.
Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu.
Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya diperintahnya
oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam ? Di
atas atau di bawah ?” Tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menghela nafas,
tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam. Patih
Demak Bintoro.
“Jawabanku tetap sama dengan tiga
tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah , luar-dalam adalah
milikku. Aku tak bisa memilihnya.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah
sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat
atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro.
Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini
pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak !
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid
Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya. Sunan
Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh
Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki
Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” Kata Sunan Kudus.
“Benarkah apa yang saya dengar itu ? Saya ingin melihat buktinya.”
“Memang begitu !” Jawab Ki Ageng
Pengging. “Kau anggap apa saya aku ini maka aku akan menurut apa yang kau
sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja,
memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau
anggap aku ini Allah aku memang Allah !”
Klop sudah ! Ki Ageng Pengging
adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat
serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para
Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu
murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala
mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud
menggorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki
Ageng dapat mati didalam hidup. Saya ingin melihat buktinya ?”
“Jadi itukah yang dikehendaki Sultan
Demak” Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab
kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati.” Sunan
Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng.
“Tusuklah siku lenganku ini ……! Ujar
Ki Ageng membuka titik kelemahannya.
Sunan Kuduspun melakukannya. Siku Ki
Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging. Sunan
Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut
oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro.
Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan
menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar
berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk
lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus. 200 orang bekas prajurit dan
perwira dipimpin oleh bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan
berteriakberteriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya
Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah
timur. Orang-orang Pengging mengejar kea rah timur, padahal Sunan Kudus dan
pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit
itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka
seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka
dibuat sadar kembali.
“Jangan turut campur urusan besar
ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap
tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak ! nah,
kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah !” Suara
Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu
seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang
Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian.
Mereka tak akan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting
daripada berbuat kesia-siaan ini,” Kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus
jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin
kalian.” Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka
kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus
sangat dihormat para penguasa pada jamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu Sultan
Handiwijaya maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang.
Beliau wafat dan dimakamkan di
sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang
lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada
pendirinya yaitu Sunan Kudus.
8. Sunan Gunung Jati
1. Asal -Usul
Sebelum
era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari
Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya.
Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan
agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah,
putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan
adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu
terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan
agama Islam. Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam
demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu. Tapi mimpi itu
hanya terjadi tiga kali.
Seperti
orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang
akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar
adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang
membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu
Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam
agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak
oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran
Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama
di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi
untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang
adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa
hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan
menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai
Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar Cakrabuana.
Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang
yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan,
banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah
pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut
Caruban. Maka Tegal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian
besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya
menjadi petis yang terkenal.
Dalam
bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian
lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi
syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk
melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak
beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah
sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu
mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan
seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani
Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang
istrinya. Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang
pada Syekh Bayanillah.
Rarasantang
dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan
dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah
Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pangeran
Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa
dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan
dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas Islami.
Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran Cakrabuana yaitu
Pakungwati.
Dalam
waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa,
terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah
mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak
keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui
tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara
itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia
ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda
yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud
pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian
diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar
didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka
ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
2. Perjuangan Sunan Gunung Jati
Sering
kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang
bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah
adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja
Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian
disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang
dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah
Portugis.
Bukti
bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati
yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut
lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di
negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di
Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira
oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan
alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar
diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk
Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah
saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479,
karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri
Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang
dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif
Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu
Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu
Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama
Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan
ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya
saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan
Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten.
Dari
perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam
di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja
sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di
Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif
Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri
sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan
berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada
Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap
sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang
berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit
pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif
Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan
Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah
tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif
Hidayayullah.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah
besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti :
Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi
wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang
besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri
Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari
negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan
Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar
Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti
Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat
hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan
bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu
Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta
benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong
Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan
di tempat yang aman.
Istana
dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif
hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada
tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari
pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan
sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan
Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang
persatuan ummat.
Selesai
membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas
pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan
diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah
Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada
tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran
mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang
mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati
Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha
itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka
terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika
Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama
Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi
mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di
Tanah Jawa.
Raden
Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah
pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan
pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang
sahid.
Pada
tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang
ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat
sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah
yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat
senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon.
Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah
dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa
Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan
bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja
Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa
Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ?
Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka
diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang
terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik
lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando
dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang.
Akhirnya
Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran
cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan
Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha
ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati
yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini
menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah
kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah
memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa
Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara
kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh
yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu
Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak
dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam
peperangan itu.
Kemenangan
demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil
ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan
Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta
kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah
semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai
Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di
Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat
sang Sultan.
`Sunan
Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau
Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran
Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan
kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana
Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap
digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu
Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat
sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Adapun nama aslinya Adipati
Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan
Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan
pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian
wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam
kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Demikianlah riwayat perjuangan Sunan
Gunungjati.
9.Raden umar said(sunan muria)
1. ASAL – USUL SUNAN MURIA
Beliau
adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said.
Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat
mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk
menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat
tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah
beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah
satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai
alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang
Sinom dan Kinanti.
2. SAKTI MANDRAGUNA
Bahwa
Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan
letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis
jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam
Sunan Muria (tidak kurang dari 750 M).
Bayangkanlah,
jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus
naik-turun, turun-naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat,
atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu
tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda
tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus
jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula
murid-muridnya.
Bukti
bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah
Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan
Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian
ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga
Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap
dua puluh tahun. Murid-murid diundang semua. Seperti : Sunan Muria, Sunan
Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga
diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah
tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar
menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga
yang sedang mekarmekarnya.
Bagi
Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan
pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid
Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono
dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi
cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi
Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang
mempersona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak
tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus
menerus.
Karena
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda
Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu
bertindak kurang ajar. Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih
ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya
yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang
dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi
dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu.
Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri
gurunya. Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya
karena dipermalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah
pulang ke tempatnya masingmasing. Tamu dari jauh terpaksa menginap dirumah
Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah
malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak
Warak kemudian bangkit dari tidurnya mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis
itu disiramnya sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak
Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono
dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang
mengetahui bahwa putrinya di culik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar
siapa saja yang berhasil membawa putrinya itu bila perempuan akan dijadikan
saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua
orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria
yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil
Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” Kata Sunan Muria.
Tetapi,
ditengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik
seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua
orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah
Keling.
“Mengapa
Kakang tampak tergesa-gesa ?” tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan
penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri
sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua.
Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi
Roroyono.
“Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut di Ajeng Roroyono
kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar
membantu.” Demikian kata Kapa.
“Aku
masih sanggup merebutnya sendiri,” Ujar Sunan Muria.
“Itu benar, tapi membimbing orang
memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti
sanggup merebutnya kembali.” kata Kapa ngotot.
Sunan
Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak
enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok
para santrinya di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari
tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku
Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang
tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan
usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak
Warak.
“Hai
Pathak Warak berhenti kau !” Bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda
terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir ! Jangan menghalangi
jalanku !” Hardik Pathak Warak.
“Boleh, asal kau kembalikan Dewi
Roroyono !”
“Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa
dan Gentiri ! Kini aku hendak mengejar mereka !” Umpat Pathak Warak.
“Untuk apa kau mengejar mereka ?”
“Merebutnya kembali !” jawab Pathak
Warak dengan sengit.
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku,
Roroyono telah dijodohkan denganku !” Ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tampa
basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah Sunan
Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan
Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan,
Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh
kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri
apalagi berjalan.
Sunan
Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana, kedatangannya disambut gembira
oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa
mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari
Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan
Sunan Muria.
Upacara pernikahanpun segera dilaksanakan.
Kapa
da Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan
hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang kehidupannya serba
berkecukupan. Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung
Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari
Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita
jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa
terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka
tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa
dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria,
tanpa bersusah payah sekarang nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka
dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan
matanya dan menjaga kehormatan mereka. (kemaluan).
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang
indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang
memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini
Kapa dan Gentiiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak
merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan
wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana
mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak
melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah
pertempuran dasyart. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri,
suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak
Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa.
Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari.
Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan
beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap
murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah ………. yang ditugaskan menjaga Dewi
Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya
itu ke Pulau Seprapat.
Pada
saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa
dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih
sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain
dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung.
Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan
ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang
pada akirnya tertarik dan masuk Islam secara suka rela.
Ternyata,
kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang
Datuk.
“Memalukan ! benar-benar nista
perbuatanmu itu ! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu !”
hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa guru ini bagaimana, bukankah
aku ini muridmu ? Mengapa tidak kau bela ?” protes Kapa.
“Apa ? Membela perbuatan durjana ?”
Bentak Wiku Lodhang Datuk.
“Sampai matipun aku takkan sudi
membela kebejatan budi perkerti walau pelakunya itu muridku sendiri !”
Perdebatan
antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria
sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya
sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara
Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk
menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang
dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang
mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut
Kapa.
Ternyata,
serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu
puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawa nya
sendiri.
“Maafkan saya Tuan Wiku ….. “ ujar
Sunan Muria agak menyesal.
“Tidak mengapa, sudah sepantasnya
dia menerima hukuman ini. Menyesal aku telah memberikan ilmu kepadanya.
Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” Guman sang Wiku.
Dengan
langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah
muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi
Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia